Selasa, 11 September 2012
Pendalaman Filsafat Ilmu
Pengertian ada adalah ketika seseorang telah berfikir. Siswa ada jika mereka berfikir. Jika siswa berfikir maka mereka ada. Tugas seorang guru adalah membuat murid-muridnya ada dengan sebenar-benarnya. Artinya ketika mengajar di kelas siswa datang dan secara fisik ada di dalam kelas, maka mereka harus berfikir supaya mereka benar-benar ada. Selain itu jika guru memberikan instruksi kepada siswa maka siswa seharusnya menjadi mengada dengan mengerjakan tugas-tugas tersebut, dan tugas-tugas yang sudah dikerjakan adalah pengada bagi mereka.
Belajar adalah berusaha memahami segala hal dengan baik. Sejak kecil manusia selalu belajar, seorang bayi pun akan belajar tentang apa yang ada disekitar mereka. Sebuah barang yang ada disamping seorang bayi dia ambil untuk dipegang-pegang, dengan demikian dia sedang belajar untuk mengerti apa yang dipegangnya. Kemudian dia coba untuk melemparnya. Diambil lagi, dipegang-pegang, dilempar lagi. Demikian samapi dia mendapatkan apa saja yang dia ingin pelajari dari kegiatan itu. Atau bisa jadi sampai dia menemukan hal lain untuk dipelajari.
Belajar seumur hidup adalah sangat penting. Manusia diciptakan untuk selalu belajar dan belajar. Belajar apapu, kapanpu dan dimanapun. Sebagai contoh belajar sopan santun di dalam masyarakat, pastilah seseorang setiap saat memiliki peluang untuk belajar baik tentang hal yang belum diketahuinya maupun hal-hal yang sudah diketahuinya untuk lebih diperdalam. Misalkan belajar untuk menyampaikan sambutan di dalam hajatan saudara atau tetangga, pertama-pertama seseorang akan melihat, berulang-ulang, baru pada akhirnya dia akan mampu untuk melakukannya sendiri.
Hal penting yang perlu diingat dalam pergaulan di dalam masyarakat adalah bahwa kita harus memunculkan suasana hati yang baik, bukan suasana pikiran. Hal ini disebabkan karena di dalam masyarakat tentunya masih belaku etik, estetika dan sopan santun yang harus tetap dijunjung tinggi. Jika tidak bisa melakukan yang demikian di dalam masyarakat dapat dikatakan bahwa kita masih gagal dalam kehidupan sosial masyarakat dan masih perlu banyak belajar dan belajar lagi. Semakin banyak pengalaman baik yang dilakukan maka kita akan menjadi cerdas secara emosional dalam menjalin hubungan sosial di masyarakat atau lingkungan dimana kita tinggal.
Belajar, tentu saja akan menemukan hal-hal yang sulit. Kesulitan barangkali akan membuat suatu kebingungan bagi si pebelajar, namun inilah awala dari belajar itu sendiri. Mula-mula seseorang akan bingung yang akhirnya muncullah pertanyaan-pertanyaan atas kebingungannya tersebut. Inilah yang disebut sebenar-benarnya belajar. Jika tidak ada pertanyaan maka belumlah seseorang dikatakan berfikir untuk belajar. Kesulitan tentu saja akan selalu ditemui jika sedang belajar. Inilah bukti bhawa kemampuan berfikir manusia sangat terbatas.
Begitu pula dalam belajar filsafat ilmu, sebuah subjek yang mempelajari metafisik dari ilmu itu sendiri. Kesulitan pasti muncul. Jika si pebelajar filsafat ilmu tidak memulai segala usahanya dengan keikhlasan maka akan sangatlah bertambah kesulitan dia untuk mempelajarinya. Salah satu langkah yang bisa mengurangi kesulitan dalam belajar filsafat ilmu adalah dengan terus berusaha, tidak berputus asa. Jika demikian telah dilakukan, namun masih menemukan kesulitan, maka ini adalah sebuah proses belajar yang harus dijalani.
Salah satu cara yang baik dalam belajar filsafat yang secara sederhana dapat dilakukan oleh siapapun adalah dengan terus membaca. Membaca, membaca, membaca, ... dan membaca, kemudian direfleksikan. Inilah salah satu cara cerdas yang dapat dilakukan.
Ruang dan waktu sangatlah penting kita sadarai dalam belajar berfilsafat secara lebih mendalam. Berfilsafat berarti harus dapat sopan dan santun terhadap ruang dan waktu. Tanpa itu semua kehidupan akan menjadi pincang artinya tidak ada keseimbangan dalam hidup. Kita akan berlaku dan bersifat egois, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan. Jika hal demikian ini terjadi maka dapat dilihat bahwa ciri-cirinya kita masih sering memaksakan diri terhadap sesuatu tanpa mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu.
Contohnya kita menginginkan dua hal sekaligus, yang mana kedua hal tersebut benar-benar tidak dapat dilakukan dalam suang dan waktu yang sama. Disinilah seharusnya kita pandai untuk memilih hal mana yang menjadi prioritas kita. Jika tidak maka justru kita akan menjadi orang yang merugi karena tidak dapat melakukan hal-hal secara maksimal atau bahkan tidak ada satupun hasil yang kita dapatkan karena suatu proses pemaksaan diri.
Demikian refleksi perkuliahan filsafat ilmu yang dapat saya tuliskan. Dan di bagian akhir dari refleksi ini masih muncul pertanyaan yang perlu saya tuliskan karena ketika akhir perkuliahan Bapak Marsigit menjelaskan tentang Elegi Menggapai Pondamen.
1. Bagaimana alur pikir kaum anti-foundalisme?
2. Apakah sebagian besar orang akan menyadari di bagian mana mereka tergolong, kaum foundalis atau anti foundalis?
Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen pengampu Dr. Marsigit
Senin, 10 September 2012
07.30 – 09.00 WIB
Ruang 102 gedung lama Program Pascasarjana UNY
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar